“Lima Kisah dalam Satu
Perjalanan Kerinduan”
Identitas
Buku
Judul Novel :
Rindu
Penulis : Tere Liye
Penerbit : REPUBLIKA
Cetakan I :
Oktober 2014
Tahun
Terbit : 2014
Ukuran
buku : 13,5 cm x 20,5 cm
Isi
: 544 halaman
Singkat saja, seperti judulnya. “Rindu”.
Sebuah novel yang menawan. Tidak banyak judul buku yang ditulis hanya dengan
satu kata saja. Satu kata yang melahirkan berjuta cerita. Tere Liye berhasil menyusunnya
menjadi mahakarya yang luar biasa. Sebagaimana karya-karya sebelumnya, buah
pena Tere Liye yang terbaru ini mampu mengajak pembaca seolah mengalami sendiri
kisah yang dituangkannya dalam novel setebal 544 halaman ini. Dan hal
terpenting, juga masih seperti karya-karya sebelumnya, bahasa yang digunakan
Tere Liye sederhana saja, mengalir apa adanya.
Rindu. Sebuah novel yang mengkisahkan
tentang perjalanan panjang ribuan jama’ah haji Nusantara menuju tanah suci yang
dirindukan jutaan ummat Islam di dunia. Makkah al Mukarromah. Ada yang
istimewa dalam perjalanan suci ini. Perjalanan panjang yang membutuhkan waktu 9 bulan dengan perjalanan
laut ini, menyimpan berjuta cerita. Inilah kisah tentang perjalanan. Dan
sebagaimana lazimnnya sebuah
perjalanan, selalu disertai dengan pertanyaan-pertanyaan.
Tere Liye dengan apik mengemas lima
pertanyaan sekaligus, dalam satu cerita. Lima misteri yang diraciknya dalam
satu kesatuan kisah yang istimewa.
SINOPSIS:
Cerita ini bermula di suatu pagi di
penghujung tahun 1938, jauh sebelum Indonesia merdeka. Tepatnya tanggal 1
Desember 1938, bertepatan dengan 9 Syawal 1357 H. Sebuah kapal uap kargo terbesar buatan Eropa di zaman itu,
berlabuh dengan anggun di pelabuhan Makasar, siap mengantar rombongan jama’ah
haji menyebrangi samudera luas, menuju tanah kelahiran Nabi Agung yang mulia. Ada lima pertanyaan yang dibawa oleh lima penumpang dalam Kapal
Blitar Holland menuju perjalanan haji tersebut.
Pertanyaan Pertama. Takdir mengguratkan, pertanyaan pertama yang muncul adalah dari
seorang perempuan berusia empat puluh tahun, seorang guru mengaji anak-anak.
Wanita cantik keturunan China yang lebih akrab dengan panggilan Bonda
Upe. Namun, di balik
keceriaannya di hadapan anak-anak saat mengajar mengaji, ia ternyata menyimpan
sebuah rahasia yang amat besar. Kisah tentang masa lalu yang ingin ia lupakan
selamanya.
Karena ulah ayahnya yang suka berjudi, selama lima belas tahun ia
harus menjalani kehidupan sebagai seorang cabo di Macao Po, salah satu
tempat paling nista di seluruh Batavia. Bertahun-tahun ia menjalani kehidupan yang
sangat hina itu. Sampai pada suatu hari Macao Po ditutup karena sebuah
peristiwa penting. Tempat nista itu ditutup untuk selamanya.
Setelah berhasil keluar dari tempat itu, Upe kembali ke Manado. Memulai kehidupan
yang lebih baik bersama suaminya. Setelah beberapa tahun pernikahan, keduanya
memutuskan untuk melakukan perjalanan suci, menunaikan ibadah haji. Pada suatu
hari di atas kapal, akhirnya Upe memutuskan untuk menceritakan kegelisahan
hatinya pada seseorang yang sangat ia percaya.
Ahmad Karaeng, yang lebih akrab dengan
sebutan Gurutta. Beliau juga salah satu penumpang dalam perjalanan haji
tersebut. Guruttta merupakan salah seorang ulama termasyhur di zaman
itu. Jalannya masih kokoh untuk seseorang yang berusia tujuh puluh lima tahun.
Dalam darahnya mengalir darah paling terkenal di Sulawesi, Sultan Hasanuddin.
Tak terbilang betapa banyak ilmu agama yang telah dikajinya. Beliau telah
menimba ilmu agama sampai ke negeri Yaman, Damaskus, juga Eropa bertahun-tahun
lamanya.
“Aku adalah bekas seorang cabo, Gurutta.
Lima belas tahun lebih aku menjadi pelacur. Sekuat apa pun aku melawan ingatan
itu, aku tidak bisa. Di kepalaku masih membekas wajah-wajah pengunjung Macao
Po. Aku tidak bisa mengenyahkan kenangan itu Gurutta. Bagaimana kalau
anak-anak tahu kalau guru mengajinya bekas cabo? Apakah Allah akan
menerimaku di tanah suci? Apakah perempuan hina sepertiku berhak menginjak
Tanah Suci? Apakah Allah akan menerimaku?” Satu pertanyaan terkuak sudah.
Pertanyaan kedua. Pemilik pertanyaan kedua dalam perjalanan
ini adalah Daeng Andipati, seorang ketua
rombongan asal Makassar. Saudagar kaya raya yang baik hati dan disegani masyarakat. Ia berangkat dari pelabuhan
Makassar bersama isteri dan dua putrinya yang periang dan menggemaskan. Anna
dan Elsa. Daeng Andipati memiliki semua hal yang lebih dari cukup untuk membuat
semua orang menyimpulkan bahwa dialah pemilik kebahagiaan yang sesungguhnya.
Harta dan kekayaan, martabat, kehormatan, keluarga kecil yang bahagia. Namun, seringkali
orang-orang hanya melihat kulit luarnya saja. Jauh di dalam hati Daeng
Andipati, ia justru menyimpan sebuah pertanyaan besar. “Semua orang selalu
punya masalah dalam hidupnya. Apakah aku bahagia?”
Setelah sekian lama Daeng Andipati
menyimpan rapat-rapat pertanyaan besar dalam hatinya, pada hari itu, ia
memutuskan untuk menyampaikannya pada seseorang yang dianggapnya tepat. Sekali
lagi pilihan jatuh pada Gurutta.
“Apakah aku bahagia Guruttta? Aku
memang memiliki semuanya, harta benda, nama baik, pendidikan, bahkan istri yang
cantik, anak-anak yang pintar dan menggemaskan. Semua orang mungkin bersedia
menukar hidupnya dengan apa yang kumiliki. Tapi mereka tidak tahu, aku justru
kehilangan hal terbesar dalam hidup ini. Apakah aku bahagia? Hidupku dipenuhi
kebencian, Guruttta. Sejak usia lima belas hatiku sudah terbakar amarah
dendam. Apa sebenarnya cinta sejati itu? Sedangkan aku sangat membenci orang
yang seharusnya ku cintai”. Pertanyaan kedua lahirlah sudah.
Pertanyaan ketiga. Salah satu tokoh yang juga membawa
pertanyaan di kapal itu adalah Mbah Kakung. Beliau mengikuti perjalanan haji
bersama isterinya tercinta, Mbah Putri. Usia keduanya jauh lebih tua dari Gurutta,
namun semangat dan rasa cinta antara keduanya sangat luar biasa. Kemesraan
yang masih terjaga hingga usia senja, mampu menginspirasi semua orang, bahwa
seperti itulah cinta sejati. Tak kan pernah berubah sedikit pun. Semenjak
menikah dulu, keduanya bertekad untuk menabung, agar dapat menunaikan ibadah
haji bersama. Jika tabungan mereka cukup, suatu hari nanti, mereka akan naik
haji bersama.
Setelah enam puluh tahun menikah dan
dikaruniai 12 orang anak, akhirnya keinginan mulia mereka sudah di depan mata.
Setelah mengumpulkan uang, sen demi sen, setelah sekian tahun lamanya. Akhirnya
Allah memeluk mimpi mulia keduanya. Mbah Kakung dan Mbah Putri akan naik haji
bersama. Menatap ka’bah bersama, sebelum maut menjemput. Siapapun pasti terharu
melihat bukti cinta yang besar di antara
keduanya.
Namun Allah berkehendak lain. Dalam
perjalanan menuju Tanah Suci, Allah terlebih dahulu memanggil Mbah Putri.
Beliau meninggal dalam perjalanan, sebelum terwujud keinginannya menginjakkan
kaki di Kota Makkah. Hal ini membuat Mbah Kakung sangat terpukul. Berhari-hari
ia murung dan enggan untuk makan, walau sesuap nasi saja. Sepanjang hari ia
hanya memikirkan Mbah Putri. “Kenapa harus terjadi sekarang, Gurutta? Kenapa harus ketika kami sudah sedikit lagi
menginjakkan kaki di Tanah Suci? Kenapa harus ada di atas lautan ini? Tidak
bisakah ditunda barang satu-dua bulan? Atau, jika tidak bisa selama itu,
bisakah ditunda hingga kami tiba di Tanah Suci, sempat bergandengan tangan
melihat Masjidil Haram. Kenapa harus sekarang? Pun pertanyaan ketiga dalam
perjalanan ini, terungkap sudah.
Pertanyaan keempat. Ambo Uleng lah pemilik pertanyaan
selanjutnya. Ia adalah seorang kelasi kapal yang sangat pendiam. Tidak banyak
ia bertutur kata, hanya sebutuhnya saja. Namun di balik diamnya, ia menyimpan
sebuah cerita. Satu-satunya alasan ia ikut berlayar dalam perjalanan haji itu
bukan karena ia hendak menunaikan ibadah haji sebagaimana penumpang lainnya. Ia
hanya ingin pergi menjauh. Meninggalkan kota Makassar sejauh-jauhnya. Karena di
tempat itulah ia meninggalkan seseorang yang sangat dicintainya.
Kisah kehilangan kekasih sejati, bahkan
sebelum ia sempat memilikinya. Seseorang yang diam-diam ia cintai sejak usianya
masih belia, ternyata sudah dijodohkan dengan orang lain. Betapa hancur hatinya
ketika mendengar jawaban dari ibu gadis itu, saat ia memberanikan diri untuk
meminang gadis yang dicintainya. Bahwa putrinya telah dijodohkan dengan orang
lain. Selama perjalanan haji itu, Ambo lah tokoh yang dikisahkan paling murung.
Ada kabut kesedihan yang tampak jelas setiap kali melihat bola matanya.
“Apa sebenarnya cinta sejati itu? Apakah
besok lusa aku akan berjodoh dengan gadis itu? Apakah aku masih memiliki
kesempatan?” Pertanyaan-pertanyaan itu berputar di kepada Ambo. Pergi menjauhi
gadis itu tak lantas membuatnya lupa akan pahitnya kisah asmara yang harus
dijalaninya. Yang ada, ia semakin dihantui rasa gelisah yang tak kian mereda.
Pertanyaan keempat telah genap diungkap.
Pamungkas dari semua kisah. Pertanyaan
kelima. Dan uniknya, pertanyaan kelima dalam perjalanan ini justru
muncul dari seseorang yang selama ini mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan
sebelumnya. Gurutta adalah sang pemilik pertanyaan yang sesungguhnya.
Ada gelisah yang selama ini menggelayuti
hatinya. Mungkin ialah bagian paling munafik dalam seluruh cerita. Bagaimana ia
menulis sebuah buku yang membuat jutaan pembacanya tergerak hatinya, jika ia
sendiri tidak tergerak? Bagaimana ia bicara tentang perlawanan, tapi ia sendiri
adalah pelaku paling pengecut? Ia yang selalu pandai menjawab pertanyaan orang
lain, tapi dia tidak pernah bisa menjawab pertanyaan diri sendiri. Seorang yang
selalu punya kata bijak untuk orang lain, tapi dia tidak pernah bisa bijak
untuk dirinya sendiri. Dan pertanyaan kelima, terkuak sudah.
Kelebihan Isi novel
Terlepas
dari lima pertanyaan itu, di bagian akhir cerita, Tere liye dengan piawai
memberikan bumbu-bumbu penyedap pada masing-masing kisah. Ada kejutan tak
terduga yang ia selipkan pada setiap akhir cerita. Pun cara penulis dalam
menjawab rasa penasaran para pembacanya, sangat mempesona. Penulis mengungkap
jawaban dari pertanyaan demi pertanyaan dengan runtun dan sistematis. Pembaca
ibarat seorang detektif yang awalnya mereka-reka, sebenarnya ada masalah apa
dengan tokoh-tokoh dalam cerita? Namun, setelah pertanyaan demi pertanyaan
terungkap, seperti dahaga yang menemukan muara. Semua masalah yang diungkapkan,
menemukan solusi yang bijak dan menentramkan hati. Banyak pelajaran hidup yang
bisa dipetik dari masing-masing masalah dalam cerita. Seperti sambil menyelam,
minum air. Membaca novel ini selain untuk menghibur diri, juga dapat mengambil
hikmah yang banyak dan berharga.
Bagaimana akhirnya seorang bekas cabo
menemukan damai di hatinya. Bagaimana Daeng Andipati berhasil memaafkan seluruh
kesalahan yang pernah dilakukan ayahnya di masa lalu. Bagaimana Allah
mempertemukan Mbah Kakung dengan Mbah Putri kembali, bahkan sebelum Allah
mempersatukan keduanya di akhirat. Juga bagimana seorang Gurutta mampu
menumbuhkan keberanian di dalam hatinya. Sehingga ia tidak sedikitpun
gentar dalam memimpin peperangan melawan penjajah di tanah air. Dan satu lagi,
bagiamana cara Allah mempersatukan Ambo dengan gadis yang dicintainya. Dengan
siapakah akhirnya Ambo bersanding? Kejutan apa yang telah Allah siapkan
untuknya?
Tere Liye telah merampungkan akhir cerita
dengan sempurna. Cerita yang mengkisahkan tentang sebuah perjalanan penuh
kerinduan. Berjuta orang pernah melakukannya. Dan besok lusa, berjuta orang
lagi akan terus melakukannya. Menunaikan perintah agama sekaligus mencoba
memahami kehidupan lewat cara terbaiknya. Dari semua kisah yang disajikan,
pembaca dapat mengambil hikmah yang tak terbilang banyaknya. Pembaca dapat
menikmati semua nasehat yang disampaikan oleh Gurutta pada seluruh tokoh
dalam cerita.
Kekurangan Isi Novel
Namun bagai gading yang tak retak, tak ada
karya manusia yang sempurna. Di bagian akhir cerita, ada ending yang
terkesan terlalu dipaksakan. Seperti bagimana jasad Mbah Kakung akhirnya
bersanding dengan jasad Mbah Putri di tengah lautan luas. Juga tentang ending
cerita yang dialami Ambo, cenderung mudah di tebak. Pun kesalahan dalam
penulisan kata, masih ditemukan pada beberapa tempat. Namun itu semua, hanya kerikil
kecil saja. Karena kelebihan-kelebihan yang terkandung dalam isi novel ini
lebih dominan, maka dengan mudah seluruh kelebihan itu mampu menutupi
kekurangannya. Wallahu Ta’ala A’lam.
Untuk
mendeskripsikan novel ini secara umum, cukup mudah saja. Rindu. Sebuah novel
tentang kerinduan, yang disajikan dengan sangat mempesona.
Selamat membaca. ^_^